04 Desember 2010 0 komentar By: Iswondo

HAKIKAT TAQARRUB ILLALLAH


Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tak sedikit yang salah paham tentang pengertian taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Taqarrub ilallah hanya dianggap sebatas ibadah ritual, seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan sebagainya. Sedang pelaksanaan ajaran Islam dalam interaksi antar manusia seperti perjuangan menegakkan syariah dan menjalankan roda pemerintahan Islam, dianggap bukan taqarrub ilallah. Padahal sebenarnya tidak demikian.
14 November 2009 1 komentar By: Iswondo

Sedekah Menaungi Pemiliknya Di Hari Kiamat

eorang muslim senantiasa khawatir akan nasibnya kelak di hari Kiamat atau hari Berbangkit. Sebab ia faham bahwa pada hari itu umat manusia bakal dibangkitkan dan dikumpulkan di Padang Mahsyar sedangkan matahari berada sangat dekat dari kepala setiap orang. Maka ketika itu setiap orang sangat ingin agar dirinya bisa bernaung di bawah suatu tempat bernaung agar dapat terhindar dari panasnya sengatan matahari.

Alhamdulillah, Nabi Muhammad memberitahu kepada kita ummatnya, ilmu mengenai apa saja perbuatan yang bila dikerjakan selagi hidup di dunia yang fana ini, dapat menyebabkan hadirnya naungan di hari Kiamat. Oleh sebab itu seorang muslim-mukmin yang cerdas pasti bersemangat mencari tahu perbuatan apakah gerangan itu. Seorang muslim cerdas sangat peduli dengan apa-apa yang memastikan dirinya selamat dan sukses dalam kehidupan di alam abadi akhirat, sesudah ia meninggalkan dunia fana. Bahkan lebih jauh daripada itu, seorang mukmin pasti berusaha sekuat tenaga mengamalkan ilmu tersebut agar janji yang ada bersamanya menjadi kenyataan kelak di hari tidak ada naungan kecuali naungan yang datang dengan izin dan ridho Allah. Itulah sebabnya seorang muslim tidak akan pernah puas mendalami sekedar ilmu yang sebatas demi kepentingannya hidup di dunia fana ini. Ia pasti akan getol memperluas wawasan ilmunya hingga mencakup perkara sesudah kematiannya. Demikianlah permohonannya kepada Allah:

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا

”Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia pusat perhatianku dan batas pengetahuanku.” (HR Tirmidzi)

Seorang beriman sangat faham bahwa bila ia hanya memiliki pengetahuan yang bermanfaat sebatas untuk kepentingan dan kemaslahatan hidupnya di dunia belaka, maka itu tidaklah terlalu startegis. Maka iapun mencari tahu apa saja pengetahuan yang menyebabkan dirinya mengerti hal-hal yang bakal dialaminya setelah kehidupannya di dunia. Dan semua ilmu tersebut hanya mungkin ia dapatkan berdasarkan informasi dari Allah dan RasulNya semata. Sebab semua ilmu yang melewati batas dunia termasuk ilmu mengenai hal-hal yang ghaib. Dan itu tidak bisa diketahui kecuali bila datang dari Allah Yang Maha Tahu perkara ghaib maupun nyata. Bahkan Nabi Muhammad tidak akan bisa menjelaskannya kecuali karena beliau sendiri telah diberitahu Allah.

Di antara keterangan Rasulullah ialah hadits yang menyatakan bahwa naungan orang beriman di hari Kiamat sangat terkait dengan kebiasaannya mengeluarkan sedekah sewaktu hidupnya di dunia. Ketika di padang Mahsyar setiap orang menunggu giliran dirinya diadili serta timbangan kebaikan dan keburukannya diperhitungkan, maka semua orang bakal merasakan panasnya matahari di atas kepala masing-masing. Namun orang-orang yang bersedekah bakal memperoleh naungan dari matahari karena sedekahnya itu hingga hukuman alias vonis ditetapkan di antara manusia.

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول :

كُلُّ امْرِئٍ فِي ظلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُفْصَلَ بَيْنَ النَاسِ ، أو قال :

حَتَّى يُحْكَمَ بَيْنَ النَّاسِ قال يزيد :

فَكَانَ أَبُو الخَيْرِ لَا يُخْطِئُهُ يَومٌ إلَّا تَصَدَّقَ مِنْهُ بِشَيْءٍ ،

أَوْ كَعْكَةً أَوْ بَصَلَةً أوْ كَذا

“Setiap orang berada di bawah naungan sedekahnya (pada hari Kiamat) hingga diputuskan di antara manusia atau ia berkata: “Ditetapkan hukuman di antara manusia.” Yazid berkata: ”Abul Khair tidak pernah melewati satu haripun melainkan ia bersedekah padanya dengan sesuatu, walaupun hanya sepotong kueh atau bawang merah atau seperti ini.” (HR Al-Baihaqi – Al-Hakim – Ibnu Khuzaimah)

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad Nabi Muhammad dengan jelas dan tegas menyatakan sebagai berikut:

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ظِلُّ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَدَقَتُهُ

Bersabda Rasulullah saw: “Naungan orang beriman di hari Kiamat adalah sedekahnya.” (HR Ahmad)

Saudaraku, marilah kita rajin bersedekah agar memperoleh naungan di hari tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Sungguh beruntung orang beriman yang melazimkan dirinya setiap hari mengeluarkan sedekah sebagai bentuk investasi cerdas untuk melindungi dirinya di hari yang sungguh sangat menyulitkan dan menakutkan kebanyakan manusia. Seperti yang dikatakan oleh periwayat hadits di atas yakni Yazid: ”Abul Khair tidak pernah melewati satu haripun melainkan ia bersedekah padanya dengan sesuatu, walaupun hanya sepotong kueh atau bawang merah atau seperti ini.”

Dan ketahuilah saudaraku, jangan pernah memandang remeh pemberian yang engkau keluarkan. Sebab bukan banyaknya sedekah yang menyebabkan naungan di hari Kiamat. Melainkan keikhlasan kitalah yang menyebabkannya. Sehingga dalam hadits lainnya Nabi bahkan bersabda sebagai berikut:

قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحْقِرَنَّ

مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah kamu meremehkan sedikitpun perbuatan ma’ruf, sekalipun kamu sekedar menemui saudaramu dengan wajah berseri.” (HR Muslim)

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمِسْكِينَ لَيَقُومُ عَلَى بَابِي فَمَا أَجِدُ لَهُ شَيْئًا

أُعْطِيهِ إِيَّاهُ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ لَمْ تَجِدِي شَيْئًا

تُعْطِينَهُ إِيَّاهُ إِلَّا ظِلْفًا مُحْرَقًا فَادْفَعِيهِ إِلَيْهِ فِي يَدِهِ

“Ya Rasulullah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Sesungguhnya seorang miskin berdiri di depan pintu rumahku, maka aku tidak menemukan sesuatu yang bisa aku berikan kepadanya.” Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya: ”Jika kamu tidak menemukan sesuatu yang bisa kamu berikan kepadanya selain kuku binatang yang dibakar, maka serahkanlah kepadanya di tangannya.” (HR Tirmidzi)

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kelemahan dan kemalasan serta sikap pengecut dan kebakhilan.” (HR Muslim)




Lubang

Dua anak kecil, kakak adik, tampak sibuk di sebuah pojok pekarangan rumah. Salah satu dari mereka terlihat menelungkup seperti mengambil sesuatu dari balik lubang kecil. Sementara yang satunya lagi begitu serius memperhatikan sang kakak. Sambil sesekali ikut melongok ke arah lubang, tangan kanannya tetap erat mencekal ranting kecil.

“Dapat, Kak?” ujar sang adik menampakkan wajah penasaran.

“Belum, Dik. Lubangnya dalam sekali!” jawab sang kakak yang masih ingin mencoba merogohkan tangannya lebih dalam ke pangkal lubang.

Rupanya, dua anak itu sedang berusaha mengambil sebuah bola pimpong yang masuk ke lubang. Tibalah giliran sang adik mengorek-ngorek lubang dengan rantingnya. Ia berharap, bola pimpong bisa tersangkut di ujung ranting dan tercungkil keluar lubang. Tapi, selalu saja ia gagal.

Di tengah kebingungan itu, seorang ibu menghampiri mereka. Ia melongok-longok mencari tahu apa yang sedang dilakukan dua anaknya dengan sebuah lubang. Tak lama kemudian, sang ibu pun mengangguk pelan.

“Belum berhasil, Nak?” tanya sang ibu sambil memberikan isyarat kehadirannya.

“Belum, Bu. Lubangnya dalam sekali!” ujar kedua bocah itu memperlihatkan keputusasaan.

“Nak,” ujar sang ibu sambil memegang dua pundak anak-anaknya. “Coba kau isikan air ke lubang. Insya Allah, lubang akan memberikan kalian bola!”

***

Mencari solusi dalam problematika hidup mungkin tak ubahnya dengan upaya mengeluarkan sesuatu yang kita inginkan dari dalam lubang yang dalam dan gelap. Butuh cara bijaksana agar yang kita inginkan bisa kita dapatkan dengan mudah.

Sayangnya, tak semua kita mampu bijaksana menyikapi lubang problematika hidup tersebut. Tak banyak yang memahami bahwa mencari solusi dari masalah tidak melulu dengan upaya ingin mendapatkan sesuatu. Tapi justru dengan semangat memberi. Dari memberi itulah, ia mendapatkan sesuatu yang diinginkan.

Tepat sekali apa yang diucapkan sang ibu kepada dua anaknya, “Penuhi lubang dengan air, ia akan memberimu bola!” (muhammadnuh@eramuslim.com)




14 Maret 2009 0 komentar By: Iswondo

Hukum Islam Tentang Nikah Siri

Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]

Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.

Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?

Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.

Hukum Pernikahan Tanpa Wali

Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

لا نكاح إلا بولي

“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].

Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل

“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].

Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها

”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil

Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara

Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.

Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.

Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.

Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):

Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.

Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.

Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.

Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.

Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.

Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;

حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.

Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

Bahaya Terselubung Surat Nikah

Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;

Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.

Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.

Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.

Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy).

HTI Press

08 Januari 2009 0 komentar By: Iswondo

Obati Stress Dengan Mengingat Allah

Kondisi zaman yang serba sulit seperti sekarang ini, hampir membuat semua orang di Indonesia terjangkit penyakit stres. Tengoklah rumah sakit jiwa di daerah kita. Kita akan menemukan angka peningkatan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Sesungguhnya, stres tidak hanya disebabkan oleh peristiwa buruk. Semua perubahan yang berhubungan dengan fisik dan psikis seseorang dapat menyebabkan stres
Stres adalah akumulasi dari reaksi tubuh terhadap situasi atau lingkungan sekitar yang tampak berbahaya atau sulit. Stres membuat tubuh memproduksi hormon adrenalin yang berfungsi untuk mempertahankan diri. Jadi, sebenarnya stres merupakan reaksi tubuh yang alami (sunnatullah). Hampir sama dengan reaksi spontan tubuh lain, seperti reaksi tubuh saat menghindar dari panas, misalnya, atau kita berselimut ketika hawa dingin menerpa tubuh kita.
Memang, ada stres yang membahayakan yaitu stress berat yang dapat berdampak pada depresi dan pada akhirnya sakit jiwa. Pertanyaannya sekarang, adakah manfaat stress? Saya jawab ada karena semua yang diciptakan ALLAH Swt tidak ada yang sia-sia, tak terkecuali hal yang buruk. Stres yang baik sangat berguna karena dapat memacu seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih tangguh menghadapi tantangan hidup. Nah, yang perlu diwaspadai adalah stress berat yang dapat mengakibatkan kegilaan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa hampir semua penyakit yang diderita oleh manusia muaranya disebabkan oleh stress. Kondisi jiwa yang tertekan dapat membuat sirkulasi darah dan metabolisme menjadi tidak sempurna sehingga membuat kita sakit. Pada dasarnya, kita tidak perlu merasa khawatir dengan stress karena kita mempunyai obat penenang bernama agama.
Stress Bermula dari Kondisi Psikis
Jika kita menemukan orang yang sakit, pada dasarnya kondisi kejiwaannya sedang terganggu. Kondisi jiwa yang tertekan akan mempengaruhi pikiran dan perasaan. Jadi sebenarnya, penyakit yang diderita manusia lebih cenderung karena psikis atau kejiwaannya sedang mengalami gangguan. Ketika kita sedang stres, tubuh kita secara otomatis akan menghasilkan hormon adrenalin dan cortisol. Kedua hormon tersebut akan mengakibatkan jantung berdetak lebih cepat daripada pada keadaan normal. Darah pun akan mengalir dengan lebih cepat. Keadaan ini tentu menguras tenaga karena kadar gula dalam darah akan terkuras cepat. Otot pun menjadi tegang, terutama otot di sekitar mata dan kepala.
Kondisi di atas akan memengaruhi perangai seseorang. Orang menjadi mudah tersinggung, cepat marah, agresif, dan cenderung berlebihan (defensif). Karena kadar adrenalin makin tinggi, kadar gula dalam darah pun semakin naik. Hal tersebut membuat kebutuhan akan zat gula makin tinggi. Jika tidak terpenuhi, orang akan mudah lelah, sukar berkonsentrasi, dan jantung sering berdebar-debar. Selain itu, tanda yang paling sering menyertai stres adalah sakit kepala dan gangguan pencernaan. Jika kita membiarkan keadaan ini berlarut-larut, sistem metabolisme tubuh akan terganggu. Selain memperparah kondisi kesehatan orang yang sedang sakit, stres juga dapat mengakibatkan daya tahan tubuh kita menurun. Tidak heran jika banyak komplikasi penyakit yang salah satunya disebabkan oleh stres.
Bagaimana Mengendalikan Stress?
Stres tidak bisa diobati. Beberapa dokter terkadang hanya memberi obat penenang sejenis chlordiazepoksida, diazepam, dan nipam, jika penderita mulai mengalami gangguan mental dan tidak bisa tidur. Jenis obat-obatan tersebut sekadar mengurangi intensitas detak jantung, mengendorkan otot tegang, dan mengurangi ketegangan saraf. Nah, cara yang paling tepat adalah kembali kepada ALLAH Swt. "
"Sesungguhnya mengingat ALLAH itu menenangkan hati", demikian firman-Nya dalam kitab suci Al-Quran. Dengan banyak mengingat ALLAH, hati akan menjadi tenang dan kita pelan-pelan akan dapat mengendalikan stress
Orang-orang yang hatinya tenang akan selalu menahan diri dari sikap mencari masalah. Dia akan selalu memandang permasalahan hidup secara positif, realistis dengan kemampuan diri, terbuka, dan hidupnya teratur sebagaimana yang sudah menjadi sunnatullah.
Tekanan hidup memang tidak akan pernah berhenti. Kualitas pribadi seseorang akan tampak ketika dia menghadapi permasalahan. Keimanan kepada ALLAH merupakan faktor utama yang membuat kita sehat. Cobalah kita bertanya dalam hati kita masing-masing, mengapa Rasulullah tidak pernah sakit seumur hidupnya? Karena Rasulullah tidak pernah mengalami stres berat. Mengapa Rasulullah tidak pernah stres berat? Karena hati Rasulullah senantiasa tenang. Mengapa Rasulullah selalu diberi ketenangan hati? Karena Rasulullah selalu mengingat ALLAH di sepanjang kehidupannya. Berserah pada kehendak Allah adalah sikap dasar dalam menghadapi segala permasalahan.
----------------------------------
Penulis adalah Asisten Manager HR Rabbani Holding, Trainer Motivasi & Pengembangan Diri di Etos Career Depelovment Centre di Bandung Jawa Barat (Contac : adikalbar@yahoo.co.id / 081573530788)


20 Desember 2008 0 komentar By: Iswondo

Dinamika Akidah Islam

Syabab.Com- Islam adalah jalan hidup yang sempurna. Islam merupakan pandangan hidup yang menentukan tingkah laku kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari. Agar kaum muslimin menyadari betapa pentingnya keterikatan dengan hukum syara', cenderung hidup hanya untuk Islam, dan berjuang demi menyebarluaskan Islam -- sebagai satu risalah yang universal -- ke seluruh penjuru dunia; maka harus dibangkitkan pada diri mereka semangat merealisasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan mengikatkan diri pada hukum syara'.Rasa rindu untuk hidup di bawah naungan Islam sangat diperlukan. Demikian pula rasa takut terhadap azab Allah yang akan menimpa mereka apabila tidak menerapkan Islam dan tidak terikat dengan hukum-hukumnya.

Bangkitnya semangat tersebut hanya dapat terwujud dengan membangkitkan aqidah Islam dan menancapkannya kembali dalam diri kaum muslimin. Apalagi cahaya aqidah tersebut telah meredup dari hati kaum muslimin. Bahkan tidak lagi berpengaruh dalam kehidupan mereka, dan tidak mampu lagi menyalakan semangat untuk mengikat-kan diri dengan hukum syara'.

Aqidah kaum muslimin saat ini sesungguhnya benar-benar telah kehilangan gambaran tentang hari kiamat. Hati mereka tidak lagi tergetar akan azab Allah atau merasa takut terhadap api neraka jahanam. Mereka juga telah kehilangan rasa rindu kepada surga, berikut keni'matan akhirat yang hakiki. Bagi mereka, keni'matan-keni'-matan surga yang abadi itu -- yang tak pernah dilihat oleh mata manusia dan belum per-nah didengar oleh telinga -- sudah tidak lagi menarik. Akibatnya, kaum muslimin tidak lagi mencita-citakan keridlaan Allah SWT sebagai nilai hidup yang tertinggi. Mereka mengalihkan perhatiannya kepada dunia dengan segala perhiasannya, terutama harta, kedudukan, kekuasaan, rasa cinta kepada isteri-isteri dan anak-anak.Mereka telah men-jadikan kebutuhan materi sebagai satu-satunya nilai hidup yang dikejar-kejar. Pan-dangan mereka tidak lagi mengarah ke langit tetapi telah terfokus kepada dunia.

Kondisi aqidah yang lemah ini telah menyebabkan berbagai bencana terus menerus menimpa diri kaum muslimin saat ini, mulai dari lepasnya keterikatan terhadap hukum-hukum Islam, ketidakberdayaan menghadapi hukum-hukum kufur yang berasal dari Barat, termasuk dominasi negara adikuasa atas negeri-negeri mereka yang telah memperalat penguasa mereka dan merampas harta kekayaan mereka; hingga mereka menerima berbagai kehinaan dan kenistaan, hidup dalam suasana ketakutan dan ke-pasrahan, serta sibuk mengejar kesenangan duniawi dengan melupakan Allah SWT.

Oleh karena itu untuk menyelesaikan seluruh problematika tersebut, mau tidak mau aqidah kaum muslimin harus dibangkitkan, seraya dimantapkan dan dihidupkan kembali.Manakala aqidah aqliyah pada diri mereka telah berfungsi kembali, maka sungguh semangat mereka akan kembali bangkit. Kaum muslimin akan kembali kepada Allah dan terikat pada syari'at-Nya. Mereka akan disiplin dalam melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi apa yang dilarangNya.

Kaum muslimin akan melepaskan semua undang-undang thaghut (kufur) dan bahkan menumpas kepemimpinan penguasa mereka yang menentang Allah dan Rasul-Nya tanpa takut lagi akan rizki atau nyawanya sekalipun. Sebab mereka (kaum mus-limin) telah beriman bahwa rizki dan hidup berada di tangan Allah SWT semata, bukan berada di tangan makhluknya. Kerinduan mereka terhadap syurga dan segala keni\'ma-tan yang ada di dalamnya akhirnya akan mampu mengalahkan kecintaan mereka terhadap kesenangan duniawi. Ketakutan mereka terhadap azab jahanam juga akan mengatasi rasa takut mereka terhadap para penguasa kufur dengan segala ancaman serta kekejamannya.

Dari sini jelaslah bahwa lemahnya keterikatan terhadap hukum syara' dalam hubungan individu dan masyrakat merupakan akibat dari lemahnya semangat aqidah akliyah yang ada pada diri kaum muslimin. Sebab, keterikatan terhadap hukum syara' merupakan buah dari iman. Jadi, apabila semangat iman ini makin kuat maka semangat keterikatan itu akan semakin kuat pula. Sebaliknya, apabila semangat iman itu makin lemah maka keterikatannya pun akan menurun.

Demikian pula harus dipahami bahwasanya meskipun tugas yang paling penting yang dibebankan pada pundak pengemban da'wah --yang berjuang untuk mengembali-kan pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT-- adalah mencurahkan tenaganya untuk menjelaskan betapa pentingnya nilai keterikatan terhadap hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan nilai-nilai dasar bagi kehidupan, juga berusaha mewujudkan kesadaran umum pada diri kaum muslimin terhadap nilai-nilai dasar kehidupan menyangkut hubungan antar individu masyarakat, antara mereka dengan negara atau antara mereka dengan negara dan bangsa lain; namun sesungguhnya hal yang paling penting lagi ialah bahwa mereka harus memahami bagaimana cara menjelaskan pentingnya keterikatan terhadap hukum-hukum syari'at dan upaya-upaya yang dapat mewujudkan kesadaran umum di tengah-tengah umat terhadap pentingnya keterikatan dengan hukum-hukum syara' tersebut.

Semua ini tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan menanamkan aqidah aqliyah, memberikan gambaran detailnya, serta menancapkan ide-ide yang tercantum dalam Al Qur'an dalam jiwa kaum muslimin. Karena sesungguhnya yang mendorong melaksana-kan syari'at dan terikat dengan hukum-hukumnya adalah hasil dari gambaran detail aqidah tersebut serta sejauh mana tertanamnya dalam jiwa umat. Dengan demikian kaum muslimin akan takut terhadap ancaman azab neraka manakala mereka menyim-pang dari syari'at Islam. Mereka akan mengharap surga yang penuh ni'mat pada saat mengikuti syari'at dan terikat dengan hukum-hukumnya. Pada saat itulah akan nampak keterikatan terhadap hukum-hukum syari'at dalam perilaku individu maupun dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Oleh karena itu, bukan tanpa disengaja apabila Al Qur'an selama tiga belas tahun di Makkah selalu memfokuskan aqidah dan menanamkan ide-idenya, sehingga masya-rakat sudah terbiasa mendengar ayat-ayat Al Qur'an yang diturunkan di siang maupun malam hari, senantiasa membicarakan masalah aqidah dan ide-idenya. Pada periode Madinah, meskipun perhatian Al Qur'an terfokus pada penerapan hukum-hukum syariat, namun ayat-ayat yang diturunkan selalu mengingatkan kaum muslimin terhadap aqidah dan mengkaitkan hukum-hukum yang diturunkan tersebut dengan iman. Hal ini disebabkan karena aqidah memiliki kedudukan paling tinggi dalam mewujudkan semangat dalam diri orang-orang yang beriman untuk melaksanakan perintah dan me-nerapkan hukumnya. Oleh karena itu, agar kita dapat membuahkan hasil dalam mem-bangkitkan dan menggerakkan umat, juga agar kita apat menghidupkan kembali seman-gat ddan kerinduan umat terhadap pelaksanaan hukum-hukum Islam, di bawah naungan sistem khilafah Islam, maka mau tidak mau harus meneladani cara yang ditempuh Al Qur'an Al-Karim dalam hal ini.

Berikut ini ditunjukkan beberapa ayyat sebagai contoh tentang cara Al Qur'an yang berkaitan dengan hal ini:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An Nisaa: 65).

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah beriman." (Ali Imran: 100)

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu beruntung." (Ali Imran: 200)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama-mu dengan jalan yang batil" (An Nisa: 29)

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya." (Al Mujadilah: 22)

Ayat-ayat seperti ini, dan ratusan yang lainnya serta ratusan hadits yang mulia, ketika menjelaskan sesuatu ide, hukum, pemecahan, perintah atau larangan sesung-guhnya selalu dikaitkan dengan aqidah dan semangat iman, serta memberi dorongan untuk melaksanakan dan mengingatkan terhadap apa yang diinginkan oleh ayat.

Demikianlah jalan yang digunakan oleh Al Qur'an ketika menjadikan masyarakat menerima aqidah, memiliki sikap komitmen dan mengikatkan diri pada hukum-hukumnya. Jadi, pengaruh rasa takut terhadap Allah SWT, takut terhadap azab kubur dan kedahsyatan hari kiamat, pedihnya siksa neraka jahanam; lalu kerinduan akan surga berikut keni\'matannya yang kekal di dalamnya dari hal-hal yang diinginkan oleh setiap jiwa, termasuk hal-hal yang indah dilihat mata, istana-istana yang sangat indah berikut bidadari yang cantik-cantik dan gadis-gadis yang segar-segar; semua ini menjadikan manusia mengalihkan pandangannya ke langit dari yang semula sibuk mencari kesenangan duniawi. Semua ini dapat memalingkan mereka kepada hal-hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan kepada surganya serta menjauhkan dirinya dari azab neraka.

Dari sinilah kaum muslimin bertolak untuk mengikatkan diri kepada hukum-hukum Allah, bertarung melawan ide-ide kufur yang sudah merajalela berikut para penguasa thaghut yang bertindak sebagai musuh-musuh Islam. Kaum muslimin akan siap melakukan perjuangan politik melawan setiap pemerintahan thaghut dan mau berjuang secara sungguh-sungguh untuk menumpas sistem pemerintahan kufur dan melepaskan diri dari dominasi mereka serta mengembalikan pelaksanaan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT.

Oleh karena itu, adalah suatu keharusan untuk menghidupkan kembali aqidah Islam pada jiwa kaum muslimin, agar dapat mendorong komitmen mereka dan terikat dengan hukum-hukum syari’at serta bersegera merubah keadaan mereka, melenyapkan kekuatan negara-negara kafir berikut perundang-undangan dan sistemnya.

Untuk membangkitkan semangat aqidah dibutuhkan penjelasan tentang mafhum / persepsi atau ajaran pokok dalam aqidah Islam, kemudian menanamkannya ke dalam jiwa individu kaum muslimin. Ajaran mendasar ini merupakan suatu ajaran yang terpen-ting dan paling berpengaruh dibandingkan dengan yang lainnya. Karena kepentingan inilah para Nabi dan para Rasul diutus. Termasuk dalam pokok ajaran tersebut; dijanjikannya kehidupan yang abadi di akhirat di surga maupun di neraka, penciptaan jin dan manusia untuk suatu tujuan tertentu, pembalasan amal perbuatan manusia dan azab/siksaan, serta adanya kewajiban mengemban da\'wah/risalah Islam dll. Mafhum/ persepsi yang dimaksud di sini ialah mafhum 'ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah SWT) yang lahir dari mafhum uluhiyyah (ketuhanan). Allah SWT berfirman:

"(Dan) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu " (Adz Dzariyaat: 56)

Jadi, yang dimaksud dalam kalimat syahadat pertama, laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah), adalah tidak ada yang patut disembah kecuali Allah sebab lafadz ilaah menurut pengertian bahasa dan syara\' adalah: yang patut disembah. Jadi kalimat laa ilaaha baik menurut ketentuan bahasa ataupun syara\' artinya adalah la ma\'buuda (tidak ada yang patut isembah). Dan tatkala seorang muslim bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, sesungguhnya dia telah mengesakan Allah dalam penghambaan maupun dalam pensucian, serta menafikan secara pasti penghambaan terhadap selain Allah. Oleh karena itu persaksian seorang muslim meng-haruskan ia untuk hanya beribadah kepada Allah saja, juga mengharuskan ia memba-tasi ibadahnya hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang lain.

Apabila seorang muslim telah memahami persepsi ini, maka akan menjadikannya sangat berhati-hati dalam segala hal yang berkaitan dengan pengaturan urusan kehi-dupannya, maupun yang menyangkut problematikanya; sehingga ia akan menolak untuk mentaati selain Allah, karena ia tidak beribadah kepada selain Allah; juga karena setiap sesuatu yang dituntut untuk ditaatinya selain Allah atau mengajak orang-orang mengikuti selain petunjuk yang berasal dari Allah; atau menjalankan hukum selain dari apa yang diturunkan Allah, semuanya termasuk dalam kategori thaghut yang harus ditentang dan diingkari, bahkan diperang sampai lenyap dari permukaan bumi ini sehingga yang ada hanya syari'at Allah semata.

Oleh karena itu yang menunjukkan adanya 'ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah itu adalah terikat secara sungguh-sungguh dengan hukum-hukum Allah, mengesakanNya dalam tasyri' (pembuatan hukum) juga dalam ketaatan, ketundukan dan pasrah terhadap segala yang diperintahkanNya atau yang dilarangNya. Sebab keterikatan kepada hukum-hukum syara' adalah hasil yang pasti dari keimanan dilihat dari segi mafhum ketuhanan, yang juga merupakan buah/hasil dari penghambaan diri kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhada putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An Nisaâ: 65).

Melalaikan keterikatan terhadap hukum-hukum syara' adalah giliran yang pasti setelah melalaikan mafhum ketuhanan, sebagai akibat dari melupakannya, jarang dipikirkan atau karena pemahamannya telah berubah.

Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilaksanakan dari selain syari'at/perintah Allah, sesungguhnya merupakan ketundukan dan penyerahan diri untuk mau diatur dengan hukum-hukum thaghut, yang kaum muslimin diperintahkan untuk mengingkari-nya. Jadi siapa saja yang ingin membuat hukum, apapun kedudukannnya -- apakah dia sebagai penguasa maupun aparatnya -- sesungguhnya ia merupakan thaghut yang ingin menjadikan dirinya sebagai Tuhan selain Allah. Allah SWT berfirman:

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya" (An Nisaa: 60)

"Mereka (Bani Israil) telah menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah." (At Taubah: 31)

Rasulullah telah menjelaskan arti ayat ini sebagai mana tercantum dalam haditsnya "Sesungguhnya mereka telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang diharamkannya lalu kaumnya mengikuti mereka, maka itulah bentuk ibadah mereka kepada para pendeta dan rahib itu." (HR. Tirmidzi no. 3095)

Sesungguhnya pengaruh mafhum ketuhanan pada diri kaum muslimin akan dapat mengembalikan posisi dan semangat aqidah Islam sebagai aqidah ruhiyyah (ritual) dan aqidah siyasiyyah (political). Jadi, bukan sekedar aqidah ruhiyah semata, karena pada hakekatnya aqidah ini mampu memancarkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam yang sangat dibutuhkan manusia dalam mengatur kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat, serta mendorong kaum muslimin untuk terikat dengan hukum-hukum Allah, melaksanakan perintah-perintahNya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan melenyapkan setiap undang-undang dan penguasa thaghut.

Sumber: Dinamika Akidah Islam, Syeikh Abdurrahman Al-Baghadadi [tsa/syabab.com]


Sikap Berlebihan Sebagian Umat Islam Terhadap Natal dan Tahun Baru Merusak Akidah

Syabab.Com- Siapa yang semestinya menjadi saudara bagi kaum Muslim? Orang kafirkah atau kaum Mukmin sendiri? Kepada siapa sebenarnya loyalitas kaum Muslim diberikan? Lalu mengapa kepada kaum Kafir bekerjasama sedangkan sesama muslim saling tendang menedang? Menyedihkan. Kondisi umat saat ini berada pada taraf berfikir ummah rendah yang mengakibatkan identitas dan kemuliaan Islam dan kaum Muslim pun pudar. Seperti ikut perayaan Natal Bersama. Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya, melainkan setelah Islam sebagai way of life diinjak-injak dan institusi Khilafah Islam diporakporandakan.

Padahal, Rasulullah Saw dan para sahabatnya telah memberikan contoh bagaimana menunjukkan kemulian dan kewibawaan Islam dan kaum Muslim. Mereka tidak pernah mempermainkan akidah islam apalagi menjualnya dengan harga yang murah. Berbeda dengan saat ini, kaum Muslim seolah tak berdaya menunjukkan kemuliaan Islam dan kaum Muslim sendiri.


Sangat disayangkan masih ada diantara kaum Muslim yang kabur dalam persoalan ini. Seperti diungkapkan oleh Komandan Satkornas Banser, H. Tatang Hidayat saat menyiapkan barisannya untuk ikut mengamankan Natal dan Tahun Baru yang berkata, "Kita berupaya memberikan rasa aman bagi saudara kita yang akan melaksanakan ibadah di hari Natal".

Benarkah posisinya seperti itu? Terlalu berlebihan, padahal sudah jelas, yang semestinya menjadi saudara bagi kaum Muslim adalah kaum Muslim sendiri. Justru semestinya kaum Muslim mendakwahi dengan mengajak berfikir tentang kerusakan akidah mereka dan menunjukkan pada mereka kepada akidah yang benar. Juga sangat berlebihan dengan pengamanan natal atau gereja yang menimbulkan kesan bahwa sebagian umat Islam itu cikal bakal ketidakamanan dan selalu melakukan teror, padahal Islam sama sekali telah melarang melakukan tindakan kekerasan seperti perusakan fasilitas umum. Hingga setiap natal, Gereja pun musti diamankan, bahkan oleh sebagian elemen Islam lagi. Jelas ini akan memberikan kesan dan citra buruk negatif terhadap Islam. Bukankah Rasulullah Saw. senantiasa berdakwah dengan mengajak berfikir pada orang kafir? Lalu mengapa kesan semacam itu dimunculkan?

Natal dan Tahun Baru benar-benar telah menjadi perayaan baru bagi kaum Muslim di negeri ini. Bahkan kaum Muslim sibuk ikut-ikutan berpartisipasi dalam perayaan agama lain mulai dengan sekedar mengucapkan selamat, penggunaan aksesoris hingga ikut dalam Natal Bersama atau perayaan Tahun Baru. Padahal sudah jelas, Natal dan Tahun Baru bukanlah berasal dari akidah Islam. Ikut merayakan Natal Bersama sudah jelas keharamannya. Tentu ini akan merusak akidah kaum Muslim.

Memang saat ini berbagai upaya interfaith atau dialog antar agama terus digulirkan. Tujuannya tiada lain untuk memposisikan agama Islam itu tidak jauh berbeda dengan agama lainnya. Targetnya, kaum Muslim tidak perlu menyuarakan ajaran Islam secara keseluruhan demi toleransi. Akibatnya tak sedikit kaum Muslim memandang Islam sebatan ritual belaka. Akidah dan Syariat Islam yang sempurna tak perlu diungkapkan secara tegas dan lugas, karena khawatir merusak toleransi. Padahal seharusnya kaum Muslim melakukan dakwah kepada non-Muslim tersebut.

Demikianlah kondisi yang menyedihkan lagi-lagi menimpa umat Islam. Setelah sebelumnya, menyedihkan bagi kaum Muslim karena berhari raya pada dua hari yang berbeda yang tak pernah terjadi sebelumnya kecuali setelah ide nasionalisme mencengkram benak umat. Padahal semestinya pada hari itulah seharusnya kaum kaum Muslim bersatu dan menjadikannya sebagai hari Raya di samping Idul Fitri. Sekarang kaum Muslim malah sibuk dalam perayaan dan peribadatan non Muslim tersebut.

Ini semua disebabkan salah satunya ketika Islam tidak dijadikan sebagai ideologi, yakni jalan hidup yang memiliki akidah dan syariat yang lengkap. Ditambah lagi dengan tidak adanya institusi penjaga akidah dan syariah Islam tersebut membuat pudarnya kemuliaan dan kewibawaan Islam dan umatnya.

Kaum Muslim semestinya kembali kepada tuntutan syariat. Bersikap seperti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Di mana mereka senantiasa tegas berhadapan dengan kaum kafir dan juga mendakwahkan Islam kepada mereka. Tidak seperti saat ini, yang tidak tegas berdakwah atau mengajak mereka untuk masuk ke dalam Islam.

Hanya khilafah yang akan membawa kembali kemuliaan bagi kaum Muslim sehingga menempatkan kembali loyalitas mereka hanya untuk Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin dan bukan untuk kaum Kafir. Untuk itu, kaum Muslim sudah menjadi kewajiban untuk mengembalikan kembali kemulian Islam dan umatnya dengan berjuang demi tegaknya syariah di bawah payung bendera Rasulullah Saw. laa ilaaha illallah muhammad rasulullah. Kapan? Tentu saat ini, sebelum ajal tiba. Insya Allah! [opini/syabab.com]