20 Desember 2008 By: Iswondo

Dinamika Akidah Islam

Syabab.Com- Islam adalah jalan hidup yang sempurna. Islam merupakan pandangan hidup yang menentukan tingkah laku kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari. Agar kaum muslimin menyadari betapa pentingnya keterikatan dengan hukum syara', cenderung hidup hanya untuk Islam, dan berjuang demi menyebarluaskan Islam -- sebagai satu risalah yang universal -- ke seluruh penjuru dunia; maka harus dibangkitkan pada diri mereka semangat merealisasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan mengikatkan diri pada hukum syara'.Rasa rindu untuk hidup di bawah naungan Islam sangat diperlukan. Demikian pula rasa takut terhadap azab Allah yang akan menimpa mereka apabila tidak menerapkan Islam dan tidak terikat dengan hukum-hukumnya.

Bangkitnya semangat tersebut hanya dapat terwujud dengan membangkitkan aqidah Islam dan menancapkannya kembali dalam diri kaum muslimin. Apalagi cahaya aqidah tersebut telah meredup dari hati kaum muslimin. Bahkan tidak lagi berpengaruh dalam kehidupan mereka, dan tidak mampu lagi menyalakan semangat untuk mengikat-kan diri dengan hukum syara'.

Aqidah kaum muslimin saat ini sesungguhnya benar-benar telah kehilangan gambaran tentang hari kiamat. Hati mereka tidak lagi tergetar akan azab Allah atau merasa takut terhadap api neraka jahanam. Mereka juga telah kehilangan rasa rindu kepada surga, berikut keni'matan akhirat yang hakiki. Bagi mereka, keni'matan-keni'-matan surga yang abadi itu -- yang tak pernah dilihat oleh mata manusia dan belum per-nah didengar oleh telinga -- sudah tidak lagi menarik. Akibatnya, kaum muslimin tidak lagi mencita-citakan keridlaan Allah SWT sebagai nilai hidup yang tertinggi. Mereka mengalihkan perhatiannya kepada dunia dengan segala perhiasannya, terutama harta, kedudukan, kekuasaan, rasa cinta kepada isteri-isteri dan anak-anak.Mereka telah men-jadikan kebutuhan materi sebagai satu-satunya nilai hidup yang dikejar-kejar. Pan-dangan mereka tidak lagi mengarah ke langit tetapi telah terfokus kepada dunia.

Kondisi aqidah yang lemah ini telah menyebabkan berbagai bencana terus menerus menimpa diri kaum muslimin saat ini, mulai dari lepasnya keterikatan terhadap hukum-hukum Islam, ketidakberdayaan menghadapi hukum-hukum kufur yang berasal dari Barat, termasuk dominasi negara adikuasa atas negeri-negeri mereka yang telah memperalat penguasa mereka dan merampas harta kekayaan mereka; hingga mereka menerima berbagai kehinaan dan kenistaan, hidup dalam suasana ketakutan dan ke-pasrahan, serta sibuk mengejar kesenangan duniawi dengan melupakan Allah SWT.

Oleh karena itu untuk menyelesaikan seluruh problematika tersebut, mau tidak mau aqidah kaum muslimin harus dibangkitkan, seraya dimantapkan dan dihidupkan kembali.Manakala aqidah aqliyah pada diri mereka telah berfungsi kembali, maka sungguh semangat mereka akan kembali bangkit. Kaum muslimin akan kembali kepada Allah dan terikat pada syari'at-Nya. Mereka akan disiplin dalam melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi apa yang dilarangNya.

Kaum muslimin akan melepaskan semua undang-undang thaghut (kufur) dan bahkan menumpas kepemimpinan penguasa mereka yang menentang Allah dan Rasul-Nya tanpa takut lagi akan rizki atau nyawanya sekalipun. Sebab mereka (kaum mus-limin) telah beriman bahwa rizki dan hidup berada di tangan Allah SWT semata, bukan berada di tangan makhluknya. Kerinduan mereka terhadap syurga dan segala keni\'ma-tan yang ada di dalamnya akhirnya akan mampu mengalahkan kecintaan mereka terhadap kesenangan duniawi. Ketakutan mereka terhadap azab jahanam juga akan mengatasi rasa takut mereka terhadap para penguasa kufur dengan segala ancaman serta kekejamannya.

Dari sini jelaslah bahwa lemahnya keterikatan terhadap hukum syara' dalam hubungan individu dan masyrakat merupakan akibat dari lemahnya semangat aqidah akliyah yang ada pada diri kaum muslimin. Sebab, keterikatan terhadap hukum syara' merupakan buah dari iman. Jadi, apabila semangat iman ini makin kuat maka semangat keterikatan itu akan semakin kuat pula. Sebaliknya, apabila semangat iman itu makin lemah maka keterikatannya pun akan menurun.

Demikian pula harus dipahami bahwasanya meskipun tugas yang paling penting yang dibebankan pada pundak pengemban da'wah --yang berjuang untuk mengembali-kan pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT-- adalah mencurahkan tenaganya untuk menjelaskan betapa pentingnya nilai keterikatan terhadap hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan nilai-nilai dasar bagi kehidupan, juga berusaha mewujudkan kesadaran umum pada diri kaum muslimin terhadap nilai-nilai dasar kehidupan menyangkut hubungan antar individu masyarakat, antara mereka dengan negara atau antara mereka dengan negara dan bangsa lain; namun sesungguhnya hal yang paling penting lagi ialah bahwa mereka harus memahami bagaimana cara menjelaskan pentingnya keterikatan terhadap hukum-hukum syari'at dan upaya-upaya yang dapat mewujudkan kesadaran umum di tengah-tengah umat terhadap pentingnya keterikatan dengan hukum-hukum syara' tersebut.

Semua ini tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan menanamkan aqidah aqliyah, memberikan gambaran detailnya, serta menancapkan ide-ide yang tercantum dalam Al Qur'an dalam jiwa kaum muslimin. Karena sesungguhnya yang mendorong melaksana-kan syari'at dan terikat dengan hukum-hukumnya adalah hasil dari gambaran detail aqidah tersebut serta sejauh mana tertanamnya dalam jiwa umat. Dengan demikian kaum muslimin akan takut terhadap ancaman azab neraka manakala mereka menyim-pang dari syari'at Islam. Mereka akan mengharap surga yang penuh ni'mat pada saat mengikuti syari'at dan terikat dengan hukum-hukumnya. Pada saat itulah akan nampak keterikatan terhadap hukum-hukum syari'at dalam perilaku individu maupun dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Oleh karena itu, bukan tanpa disengaja apabila Al Qur'an selama tiga belas tahun di Makkah selalu memfokuskan aqidah dan menanamkan ide-idenya, sehingga masya-rakat sudah terbiasa mendengar ayat-ayat Al Qur'an yang diturunkan di siang maupun malam hari, senantiasa membicarakan masalah aqidah dan ide-idenya. Pada periode Madinah, meskipun perhatian Al Qur'an terfokus pada penerapan hukum-hukum syariat, namun ayat-ayat yang diturunkan selalu mengingatkan kaum muslimin terhadap aqidah dan mengkaitkan hukum-hukum yang diturunkan tersebut dengan iman. Hal ini disebabkan karena aqidah memiliki kedudukan paling tinggi dalam mewujudkan semangat dalam diri orang-orang yang beriman untuk melaksanakan perintah dan me-nerapkan hukumnya. Oleh karena itu, agar kita dapat membuahkan hasil dalam mem-bangkitkan dan menggerakkan umat, juga agar kita apat menghidupkan kembali seman-gat ddan kerinduan umat terhadap pelaksanaan hukum-hukum Islam, di bawah naungan sistem khilafah Islam, maka mau tidak mau harus meneladani cara yang ditempuh Al Qur'an Al-Karim dalam hal ini.

Berikut ini ditunjukkan beberapa ayyat sebagai contoh tentang cara Al Qur'an yang berkaitan dengan hal ini:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An Nisaa: 65).

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah beriman." (Ali Imran: 100)

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu beruntung." (Ali Imran: 200)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama-mu dengan jalan yang batil" (An Nisa: 29)

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya." (Al Mujadilah: 22)

Ayat-ayat seperti ini, dan ratusan yang lainnya serta ratusan hadits yang mulia, ketika menjelaskan sesuatu ide, hukum, pemecahan, perintah atau larangan sesung-guhnya selalu dikaitkan dengan aqidah dan semangat iman, serta memberi dorongan untuk melaksanakan dan mengingatkan terhadap apa yang diinginkan oleh ayat.

Demikianlah jalan yang digunakan oleh Al Qur'an ketika menjadikan masyarakat menerima aqidah, memiliki sikap komitmen dan mengikatkan diri pada hukum-hukumnya. Jadi, pengaruh rasa takut terhadap Allah SWT, takut terhadap azab kubur dan kedahsyatan hari kiamat, pedihnya siksa neraka jahanam; lalu kerinduan akan surga berikut keni\'matannya yang kekal di dalamnya dari hal-hal yang diinginkan oleh setiap jiwa, termasuk hal-hal yang indah dilihat mata, istana-istana yang sangat indah berikut bidadari yang cantik-cantik dan gadis-gadis yang segar-segar; semua ini menjadikan manusia mengalihkan pandangannya ke langit dari yang semula sibuk mencari kesenangan duniawi. Semua ini dapat memalingkan mereka kepada hal-hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan kepada surganya serta menjauhkan dirinya dari azab neraka.

Dari sinilah kaum muslimin bertolak untuk mengikatkan diri kepada hukum-hukum Allah, bertarung melawan ide-ide kufur yang sudah merajalela berikut para penguasa thaghut yang bertindak sebagai musuh-musuh Islam. Kaum muslimin akan siap melakukan perjuangan politik melawan setiap pemerintahan thaghut dan mau berjuang secara sungguh-sungguh untuk menumpas sistem pemerintahan kufur dan melepaskan diri dari dominasi mereka serta mengembalikan pelaksanaan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT.

Oleh karena itu, adalah suatu keharusan untuk menghidupkan kembali aqidah Islam pada jiwa kaum muslimin, agar dapat mendorong komitmen mereka dan terikat dengan hukum-hukum syari’at serta bersegera merubah keadaan mereka, melenyapkan kekuatan negara-negara kafir berikut perundang-undangan dan sistemnya.

Untuk membangkitkan semangat aqidah dibutuhkan penjelasan tentang mafhum / persepsi atau ajaran pokok dalam aqidah Islam, kemudian menanamkannya ke dalam jiwa individu kaum muslimin. Ajaran mendasar ini merupakan suatu ajaran yang terpen-ting dan paling berpengaruh dibandingkan dengan yang lainnya. Karena kepentingan inilah para Nabi dan para Rasul diutus. Termasuk dalam pokok ajaran tersebut; dijanjikannya kehidupan yang abadi di akhirat di surga maupun di neraka, penciptaan jin dan manusia untuk suatu tujuan tertentu, pembalasan amal perbuatan manusia dan azab/siksaan, serta adanya kewajiban mengemban da\'wah/risalah Islam dll. Mafhum/ persepsi yang dimaksud di sini ialah mafhum 'ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah SWT) yang lahir dari mafhum uluhiyyah (ketuhanan). Allah SWT berfirman:

"(Dan) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu " (Adz Dzariyaat: 56)

Jadi, yang dimaksud dalam kalimat syahadat pertama, laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah), adalah tidak ada yang patut disembah kecuali Allah sebab lafadz ilaah menurut pengertian bahasa dan syara\' adalah: yang patut disembah. Jadi kalimat laa ilaaha baik menurut ketentuan bahasa ataupun syara\' artinya adalah la ma\'buuda (tidak ada yang patut isembah). Dan tatkala seorang muslim bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, sesungguhnya dia telah mengesakan Allah dalam penghambaan maupun dalam pensucian, serta menafikan secara pasti penghambaan terhadap selain Allah. Oleh karena itu persaksian seorang muslim meng-haruskan ia untuk hanya beribadah kepada Allah saja, juga mengharuskan ia memba-tasi ibadahnya hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang lain.

Apabila seorang muslim telah memahami persepsi ini, maka akan menjadikannya sangat berhati-hati dalam segala hal yang berkaitan dengan pengaturan urusan kehi-dupannya, maupun yang menyangkut problematikanya; sehingga ia akan menolak untuk mentaati selain Allah, karena ia tidak beribadah kepada selain Allah; juga karena setiap sesuatu yang dituntut untuk ditaatinya selain Allah atau mengajak orang-orang mengikuti selain petunjuk yang berasal dari Allah; atau menjalankan hukum selain dari apa yang diturunkan Allah, semuanya termasuk dalam kategori thaghut yang harus ditentang dan diingkari, bahkan diperang sampai lenyap dari permukaan bumi ini sehingga yang ada hanya syari'at Allah semata.

Oleh karena itu yang menunjukkan adanya 'ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah itu adalah terikat secara sungguh-sungguh dengan hukum-hukum Allah, mengesakanNya dalam tasyri' (pembuatan hukum) juga dalam ketaatan, ketundukan dan pasrah terhadap segala yang diperintahkanNya atau yang dilarangNya. Sebab keterikatan kepada hukum-hukum syara' adalah hasil yang pasti dari keimanan dilihat dari segi mafhum ketuhanan, yang juga merupakan buah/hasil dari penghambaan diri kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhada putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An Nisaâ: 65).

Melalaikan keterikatan terhadap hukum-hukum syara' adalah giliran yang pasti setelah melalaikan mafhum ketuhanan, sebagai akibat dari melupakannya, jarang dipikirkan atau karena pemahamannya telah berubah.

Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilaksanakan dari selain syari'at/perintah Allah, sesungguhnya merupakan ketundukan dan penyerahan diri untuk mau diatur dengan hukum-hukum thaghut, yang kaum muslimin diperintahkan untuk mengingkari-nya. Jadi siapa saja yang ingin membuat hukum, apapun kedudukannnya -- apakah dia sebagai penguasa maupun aparatnya -- sesungguhnya ia merupakan thaghut yang ingin menjadikan dirinya sebagai Tuhan selain Allah. Allah SWT berfirman:

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya" (An Nisaa: 60)

"Mereka (Bani Israil) telah menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah." (At Taubah: 31)

Rasulullah telah menjelaskan arti ayat ini sebagai mana tercantum dalam haditsnya "Sesungguhnya mereka telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang diharamkannya lalu kaumnya mengikuti mereka, maka itulah bentuk ibadah mereka kepada para pendeta dan rahib itu." (HR. Tirmidzi no. 3095)

Sesungguhnya pengaruh mafhum ketuhanan pada diri kaum muslimin akan dapat mengembalikan posisi dan semangat aqidah Islam sebagai aqidah ruhiyyah (ritual) dan aqidah siyasiyyah (political). Jadi, bukan sekedar aqidah ruhiyah semata, karena pada hakekatnya aqidah ini mampu memancarkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam yang sangat dibutuhkan manusia dalam mengatur kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat, serta mendorong kaum muslimin untuk terikat dengan hukum-hukum Allah, melaksanakan perintah-perintahNya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan melenyapkan setiap undang-undang dan penguasa thaghut.

Sumber: Dinamika Akidah Islam, Syeikh Abdurrahman Al-Baghadadi [tsa/syabab.com]


0 komentar: